Feeds:
Posts
Comments

Posts Tagged ‘Tegak Lurus dengan Langit’

Selalu ada suasana mencekam saat membaca prosa Iwan Simatupang. Dalam banyak karya sastranya (cerpen dan novel), Iwan tidak pernah memberikan tokoh atau watak ceritanya kesempatan hidup bahagia. Watak dalam prosa Iwan selalu manusia problematis. Begitu pula suasana ceritanyanya, Iwan kerap kali menggambarkan sisi kelam manusia yang tak bahagia.

Barangkali itulah ciri khas seorang Iwan Simatupang. Seorang sastrawan penting Indonesia yang telah mendapatkan capnya sendiri, Cap Iwan. Ke-khas-an seorang Iwan ini bisa terwakili dalam antologi cerita pendeknya, Tegak Lurus dengan Langit. Antologi tersebut merangkum 20 cerpen Iwan Simatupang dalam beberapa tahun rentang kariernya di dunia sastra. Memang tak banyak cerpen Iwan Simatupang. Kariernya di dunia sastra berkisar semasa 22 tahun. Itupun produktif di masa 10 tahun pertama kepengarangan. Disamping aktif menulis karya sastra, ia juga banyak menulis esai. Iwan sendiri memulai kepengarangannya di usia 30-an.

Antologi Tegak Lurus dengan Langit yang diterbitkan Buku Kompas (2004) ini dibuka dengan cerpen Lebih Hitam dari Hitam. Inilah cerpen (prosa) pertama Iwan setelah sekian lama bergelut dalam dunia tulis-menulis (esai, artikel). Lebih Hitam dari Hitam dimuat pertama kali di Siasat Baru, 30 desember 1959. Cerpen ini menceritakan orang gila yang “dikarantina” di Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Cerita yang dinarasikan oleh watak “aku” kental sekali aroma kegilaan. Iwan melukiskan pola pikir non-waras di kepala orang gila—yang terkadang kalau dipikir-pikir, pola pikir tersebut bisa jadi benar juga—betapa pun irasionalnya pola pikir tersebut. Si Kepala Besar yang menjadi teman ngobrol tokoh “aku” itu misalnya. Kita bisa melihat bagaimana si Kepala Besar yang dengan sengaja merebut dan merusak surat kabar yang sedang dibaca oleh tokoh “aku”.

Si Kepala Besar sudah jelas gila, kalau tidak bagaimana mungkin dia bisa nginap di RSJ. Merebut dan merusak surat kabar rekannya sesama penghuni RSJ adalah bentuk dari sikapnya yang non-waras. Tapi tahukah kita motif perebutan dan perusakan tersebut? Memang si “aku” tidak jadi melampiaskan amarahnya, sebab seiring dengan timbulnya emosi saat korannya direbut, saat itu pula terbit rasa kasihan. Perawakan “sang musuh” yang menyedihkan dengan kepala botak dan besar telah mengalahkan rasa amarah. Tapi perlakuan belas kasihan seperti itulah yang sangat dibenci oleh si Kepala Besar. Ia menganggap belas kasihan menyiksa dan mengganggu hidupnya. Ia ingin bila ia pantas dipukuli, maka ia harus dipukul. Seperti merebut dan merusak koran itu tadi misalnya, si Kepala Besar ingin si “aku” memukul atau paling tidak marah atas kelancangannya. Gila, bukan? Itulah Iwan Simatupang, dimana dengan sangat literer dia melukiskan penjungkiran pola pikir yang di mata orang normal dianggap wajar.

Lebih Hitam dari Hitam ditutup dengan kehilangan si ‘aku” atas rekannya si Kepala Besar. Si Kepala Besar yang tiba-tiba tanpa pamit telah meninggalkan RSJ. Pulang. Dan, tahu-tahu si “aku” dikabari tentang kematian kompatriotnya tersebut. Si “aku” jelas saja kaget, tapi lebih kaget lagi ketika perawat menitipkan sebuah wasiat untuknya. Wasiat tersebut sebuah koran. Sebelum meninggal, si Kepala Besar berpesan agar sebelum ia meninggal, keluarganya mengganti koran si “aku” yang telah ia telah rusak.

Cerita pendek lain yang terangkum dalam antologi ini adalah Monolog Simpang Jalan. Cerpen ini masih berkisar seputar orang gila. Cerpen ini berkisah tentang seorang Pengarang yang mencari inspirasi dari seorang gila di persimpangan jalan. Di luar dugaan sang Pengarang, si Gila tahu ia sedang menjadi objek karangan. Si Gila tak terima. Ia ingin tahu apa motif si Pengarang yang ingin menjadikannya sebagai objek cerita. Pertanyaan si Gila tak dapat jawaban si Pengarang. Kemudian pertanyaan demi pertanyaan—yang juga masih belum ada jawabnya—berlanjut menjadi semacam monolog, semacam ceramah. Ya, monolog atau ceramah dari seorang gila.

Selanjutnya, antologi ini juga memuat Kereta Api di Jauhan. Cerpen ini berkisah tentang sebuah keluarga yang mati bunuh diri. Bunuh diri yang bermotifkan ketidakbahagiaan hidup, akibat kekurangan spritualitas. Ya, cerpen ini kisah kematian yang tragis. Sebuah keputusan yang brutal, karena semua pelaku bunuh diri mati dengan menabrakkan diri mereka ke kereta api.

Ini jelas cerita tentang sisi kelam jiwa manusia. Jiwa yang tak lagi sanggup memikul semua kegamangan hidup bersama semua tantangannya. Kalau kita simpulkan, Iwan Simatupang—dalam Kereta Api di Jauhan ini—masih berkutat pada kisah pertarungan jiwa manusia yang akhirnya kalah melawan keadaan.

Disamping cerita-cerita di atas, antologi ini juga memuat cerpen Tegak Lurus dengan Langit, cerpen yang menjadi judul antologi. Sama seperti tiga cerpen yang telah kita ulas tadi, cerpen ini juga tragis. Kelam. Dalam cerpen ini, Iwan menggambarkan sebuah keluarga yang gelisah, nyaris separuh gila semuanya, akibat menghilangnya sosok yang menjadi ayah dan suami di keluarga mereka. Kehilangan sosok yang tak jelas dimana rimbanya tersebut melahirkan rasa frustasi. Si ibu tidak bisa disebut janda, karena jelas mereka belum cerai. Anak-anak tidak bisa disebut yatim karena tak ada kabar ayah mereka telah mati. Alhasil, situasi status serba tak menentu tersebut melahirkan tekanan sosial yang berimpilikasi psikologis kepada mereka semua.

Sang ibu pada akhirnya mati mendadak setelah ia tak sengaja dipergoki si bungsu bertelanjang-ria, bergulat, bemain cinta dengan pria lain. Dua kakak si bungsu dipenjara seumur hidup gara-gara membunuh petugas sensus. Kesalahan petugas sensus mungkin saja kecil, karena bertanya dimana ayah mereka. Tapi di mata kedua kakaknya, kesalahan si petugas sangat besar, membuka luka lama keluarga mereka yang selama ini tersiksa karena kehilangan ayah mereka.

Lantas bagaimana dengan si bungsu? Kisahnya lebih hebat dan tragis lagi. Sang ayah yang telah 17 tahun menghilang, tiba-tiba muncul di depan rumah mereka. Sebuah kepulangan yang sangat tidak tepat, setelah satu persatu anggota keluarga tersebut tercerabut dari rumah mereka. Si ibu mati karena malu pada anak-anak karena telah ber-seks di luar nikah dengan laki-laki lain, si kakak harus dikurung seumur hidup di penjara karena membunuh orang yang menanyakan ayah mereka dimana—ini jelas implikasi dari hilangnya ayah mereka. Kutukan-kutukan tersebut akibat dosa besar ayah mereka yang menghilang tanpa rimba. Kini sang ayah telah pulang. Kutukan tak lagi bisa menjadi keberkahan. Dosa tak lagi mungkin terhapus.

Kutukan dan dosa itulah yang membawa si bungsu pada akhirnya membunuh ayah mereka. Pembunuhan untuk menuntaskan dendam, itulah motifnya. Langkah cepat untuk membebaskan beban pikiran, itulah tujuannya. Pada akhirnya, memang si bungsu mendapatkan apa yang ia motifkan dan ia tujukan. Kebebasan dari bayang-bayang sang ayah. Dan pada akhirnya, memang ia merasakan dirinya sama-sama tegak lurus dengan langit!

Barangkali cukup empat cerpen saja yang diulas di sini. Sebab ada sisa 16 cerpen lagi. Empat ulasan singkat tersebut saya rasa cukup untuk menggambarkan isi dari antologi Tegak Lurus dengan langit ini. Sebagian isi antologi cerpen ini sama. Dalam artian pengambilan temanya. Sama-sama melukiskan sisi kelam manusia, irasionalisme, ironi, dan tragedi manusia. Tapi perlu diketahui juga, sekitar enam atau tujuh cerpen Iwan yang terangkum di antologi ini, juga mengangkat tema-tema yang ringan. Enam atau tujuh judul tersebut, Iwan tulis dengan ringkas, sederhana, tanpa ada keinginan banyak-banyak berfalsafah, namun masih tetap dengan style kedalaman pikir. Menurut kata pengantar buku antologi ini, cerita-cerita yang memang ringkas tersebut dibuat Iwan karena faktor kolom koran yang memuat. Itulah mengapa Iwan harus kreatif menyingkatkan karangannya, hanya karena faktor space kolom koran semata.

Nah, bagi kita yang belum menikmati kumpulan (antologi) Iwan yang satu ini, selamat membeli. Dan, selamat menyelami pola pikir Cap Iwan yang khas!

Zamroni Rangkayu Itam

info:

Judul : Tegak Lurus dengan Langit (Kumpulan Cerpen), Pengarang : Iwan Simatupang, Penerbit : Buku Kompas-Jakarta-cetakan I (terbaru)-2004, Halaman : 154 halaman

Read Full Post »